A. Definisi Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu unsur
permintaan agregat. Konsep perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan
pengeluaran menyatakan bahwa
Y = C + I + G + X-M.
Formula ini dikenal
sebagai identitas pendapatan nasional (dalam arti luas), sekaligus mencerminkan
penawaran agregat. Sedangkan variable-variabel di ruas kanan disebut permintaan
agregat. Variable G melambangkan pengeluaran pemerintah (Government
expenditures). Dengan membandingkan nilai G terhadap Y serta mengamatinya dari
waktu ke waktu dapat diketahui seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah
dalam pembentukan permintaan agregat atau pendapatan nasional. Dengan itu dapat
dianalisis seberapa penting peranan pemerintah dalam perekonomian nasional.
Pemerintah tentu saja tidak hanya melakukan pengeluaran,
akan tetapi juga memperoleh penerimaan. Penerimaan dan pengeluaran pemerintah
dimasukkan dalam suatu konsep terpadu mengenai pendapatan dan belanja negara.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berkenaan dengan penerimaan dan pengeluaran
pemerintah (pendapatan dan belanja negara) disebut kebijksanaan fiskal.
B. Intervensi dan Fungsi Ekonomi Pemerintah
Sebagai sebuah organisasi atau rumah tangga, pemerintah
melakukan banyak sekali pengeluaran untuk membiayai kegiatan-kegiatannya.
Pengeluaran-pengeluaran tersebut bukan saja untuk menjalankan roda pemerintahan
sehari-hari. Akan tetapi juga untuk membiayai kegiatan perekonomian. Bukan
berarti pemerintah di negara-negara sedang berkembang, melainkan dalam arti
pemerintah harus menggerakan dan merangsang kegiatan ekonomi secara umum.
Pemerintah harus merintis dan menjalankan kegiatan ekonomi yang masyarakat atau
kalangan swasta tidak tertarik untuk menjalankannya. Dalam kasus lain,
pemerintah memandang perlu untuk menangani sendiri berbagai kegiatan ekonomi
tertentu, yang menurut penilaiannya sebaiknya tidak dijalankan oleh pihak
swasta. Itulah sebabnya pemerintah melakukan berbagai pengeluaran, bahkan dalam
jumlah besar.
Di negara manapun, selalu ada campur tangan atau
intervensi pemerintah dalam perekonomian. Tidak ada pemerintah yang dalan
aturan ekonomi negerinya berperan semata-mata
hanya sebagai “wasit” atau “ polisi”, yang hanya berfungsi membuat
undang-undang dan peraturan, untuk kemudian menjadi pelerai jika timbul masalah
atau penyelamat bila terjadi kepanikan. Keterlibatan pemerintah dalam
perekonomian jelas beralasan, mustahil untuk dicegah. Tidak ada satu
perekonomian pun, termasuk di negara kapitalis atau negara maju, bebas dari
intervensi pemerintahnya. Yang ada adalah perbedaan kadarnya. Di beberapa negara
pemerintahnya terlibat erat dalam perekonomian, sementara dinegara-negara lain
campur tangan pemerintah dalam perekonomiannya relatif lebih terbatas.
Dalam kancah
perekonomian modern, peranan pemerintah dapat dipilah dan ditelaah menjadi
empat macam kelompok peran, yaitu :
a. Peran alokatif, yakni peranan pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya
ekonomi yang ada agar pemanfaatannya bisa optimal dan mendukung efisiensi
produksi.
b. Peran
distributif, yakni peranan pemerintah dalam mendistribusikan sumber daya, kesempatan
dan hasil-hasil ekonomi secara adil dan wajar.
c. Peran stabilisatif, yakni peranan pemerintah dalam memelihara stabilitas perekonomian dan memulihkannya jika berada dalam keadaan disekuilibrium.
d. Peran dinamisatif,
yakni peranan pemerintah dalam menggerakan proses pembangunan ekonomi
agar lebih cepat tumbuh, berkembang, dan maju.
a. Peran
Alokatif Pemerintah Dalam kehidupan ekonomi
Setiap
orang atau masyarakat selalu mempunyai preferensi tertentu terhadap
barang-barang dan jasa yang ingin dikonsumsi atau hendak diproduksinya. Barang
ekonomi, berdasarkan peruntukannya, dapat dibedakan menjadi barang pribadi dan
barang sosial. Yang disebut terakhir ini bukan berarti barang bebas atau barang
non ekonomi. Barang pribadi ialah barang yang dapat dimiliki atau untuk
dinikmati secara pribadi, oleh perorangan atau sekelompok orang, mempunyai
harga yang jelas dan diperoleh melalui proses transaksi jual-beli. Barang
sosial ialah barang yang mengandung sifat-sifat sebaliknya, tidak dapat
dimiliki oleh pribadi dan tidak untuk dinikmati secara pribadi. Contoh barang
atau jasa sosial misalnya adalah jalan umum, jembatan, pertahanan, dan keamanan
negeri.
Barang-barang
semacam ini tidak menarik bagi masyarakat atau kalangan swasta untuk
memproduksi atau menyediakannya karena tidak bisa dijual. Mengapa tidak bisa
dijual, karena tidak bisa dimiliki atau dinikmati secara pribadi. Adanya barang
sosial mencerminkan bahwa mekanisme pasar telah gagal menyediakan barang-barang
itu. Pihak swasta enggan memproduksinya, baik karena tidak bisa dijual ataupun
karena investasi awalnya sangat besar. Pemerintah harus turun tangan
menyediakan atau memulainya. Cara yang ditempuh untuk pengadaannya bisa
bermacam-macam. Ditangani sendiri oleh instansi teknis pemerintahan seperti
departemen atau lembaga non-departemen atau melalui perusahaan negara. Atau
pengadaannya dipercayakan kepada perusahaan swasta, namun biasanya pemerintah
harus memberi subsidi untuk itu.
Barang-barang
tadi, begitu tersedia, pada umumnya dapat dinikmati oleh setiap orang secara
cuma-cuma tanpa harus membayar. Pemerintah sendiri selaku pemasok
juga tidak dapat menjualnya. Paling-paling ia hanya bisa memungut retribusi
atau iuran kepada yang menggunakan atau menikmati. Yang jelas pemerintah
harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Dalam kegiatan ekonomi seringkali
timbul akibat-akibat sampingan yang dirasakan oleh masyarakat. Akibat sampingan
(side effects) yang dimaksud bisa bersifat positif, sehingga turut dinikmati
oleh masyarakat yang tidak terlibat dalam pengadaannya bersifat negatif,
sehingga secara tak sengaja terpaksa harus ditanggung oleh masyarakat.
Akibat-akibat
sampingan (dampak positif dan dampak negatif) demikian kita kenal dengan
istilah eksternalitas. Untuk dampak yang positif, biasanya tidak masalah. Akan
tetapi tidak begitu halnya dengan dampak yang negatif. Masyarakat, walaupun
tidak mau berkorban secara pribadi untuk mengulangi, cenderung akan
mengeluhkannya. Dalam kasus seperti itu, karena pemerintah bertindak pula
selaku pelopor dan pengendali pembangunan.
Pemilikan sumber daya dan kesempatan ekonomi disetiap negeri acap kali tidak setara, baik diantara lapisan-lapisan masyarakat, diantara wilayah-wilayah negara yang bersangutan, maupun diatara sektor-sektor ekonomi. Begitu pula dengan kecenderungan pembagian hasil-hasilnya. Tanpa kesenjangan “anugerah awal” pun (initial
endowmwnt, maksudnya kesenjangan pemilikan sumber daya dan kesempatan) ketimpangan penikmat atau pembagian hasil dapat terjadi. Konon lagi apabila kesenjangan sudah bermula sejak awal. Oleh karenanya, ketidakmerataan dalam bentuk apapun, haruslah dikurangi. Alasannya bukan semata-mata karena ketidakmerataan bersifat tidak manusiawi, tetapi juga, dan bahkan jauh lebih penting lagi, karena hal itu secara ekonomi tidak produktif.
Kesenjangan pemilikan sumber daya dan kesempatan ekonomi akan cenderung mengkonsentrasikan kekuatan dan kekuasaan ekonomi di tangan segelintir “pihak”
(lapisan masyarakat,
wilayah, sektor)
tertentu. Daya tawar
(bargaining position) antar pelaku ekonomi menjadi tidak seimbang. Dalam hal konsentrasi kekuatan dan kekuasaan tadi berdimensi antar lapisan masyarakat,
segmen-segmen tertentu dalam perekonomian akan mengarah ke struktur pasar yang oligopolistik dan bahkan monopolistik. Efisiensi produksi menjadi semu, begitu pula
optimalitas alokasi sumber daya. Tingginya produktifitas dan harga barang-barang bukan terbentuk oleh proses mekanisme pasar (kekuatan tarik-menarik antara penawar dan permintaan) yang
seimbang, melainkan lebih karena ekonomi biaya yang tinggi akibat kesewenang-wenangan pihak yang menggenggam kekuatan dan kekuasaan ekonomi.
Di sisi lain, ketidakseimbangan daya tawar dapat melemahkan pasar. Permintaan bisa merosot akibat ketidakmampuan jajaran konsumen menjangkau harga tawaran yang di
lambungkan oleh kalangan produsen. Ketidakmampuan permintaan menyerap penawaran berakibat melesukan produksi. Pada gilirannya,
perekonomian secara makro turut terimbas dampaknya. Dalam perspektif non-ekonomi,
ketidakmerataan ekonomi potensial menyulut keresahan sosial. Berawal dengan kecemburuan social,
keresahan bisa marak menjadi kerusuhan sosial. Muara ongkos itu tak pelak lagi adalah stabilitas nasional, suatu hal yang dapat memporakporandakan segala kenyamanan dan kemapanan kehidupan, termasuk kehidupan ekonomi. Dan yang bertanggung jawab atas mencegah dan menanggulangi semua itu bukanlah orang
perorangan ataupun sebuah perusahaan melainkan pemerintah.
Peran distributif pemerintah dapat ditempuh baik melalui jalur penerimaan maupun lewat jalur pengeluarannya. Disisi penerimaan, pemerintah mengenakan pajak dan memungut sumber-sumber pendapatan lainnya untuk kemudian di
redistribusikan secara adil dan proporsional. Dengan pola serupa pula pemerintah membelanjakan pengeluarannya.
c. Peran Stabilisatif Pemerintah
Isu stabilisasi merupakan alasan lain bagi pemerintah
untuk turut mencampuri perekonomian. Alasan ini bertolak dari kenyataan
objektif sering tidak berdayanya pihak swasta mengatasi sejumlah masalah yang
timbul, bahkan kadang-kadang tidak mampu menyelesaikan masalah mereka sendiri.
Masalah secara objektif kalangan swasta tidak berdaya mengatasi misalnya adalah
jika perekonomian dalam negeri mengalami inflasi, resesi atau serbuan
barang-barang impor. Sedangkan contoh fakta objektif dimana pihak swasta tidak
mampu menyelesaikan sendiri masalah mereka misalnya dalam tingginya tingkat
suku bunga perbankan, atau perang harga akibat politik dumping yang dilakukan
oleh segelintir perusahaan dalam satu industri. Campur tangan pemerintah
berperan strategis untuk memecahkan kemelut-kemelut seperti itu, agar
perokonomian pulih stabil.
Ketidakmampuan pihak swasta mengatasi sejumlah kemelut
pada umumnya bersifat objektif, memag berada di luar kendali mereka, sehingga
wajar mengundang campur tangan pemerintah. Namun kadaang kala ketidakberdayaan
pihak swasta itu justru diciptakan sendiri secara subjektif oleh pemerintah,
dalam arti pemerintah secara pribadi berpandang bahwa pihak swasta tidak
mungkin mampu mengatasi masalahnya. Misalnya, dalam kasus tuntutan kenaikan
upah pekerja, atau pertikaian tentang proporsi pemilikan/penguasaan perusahaan
di antara para pemegang saham. Dalam kemelut internal yang dicontohkan ini,
acap kali pemerintah terlalu dini berintervensi, biasanya dengan dalih untuk
menjaga atau memulihkan stabilitas.
d. Peran Dinamisatif Pemerintah
Adalah kenyataan bahwa dalam beberapa hal kalangan swasta tidak memiliki keberanian yang memadai untuk menjalankan kegiatan ekonomi tertentu atau bahkan memulainya. Kenyataan demikian amat lazim dijumpai di negara-negara sedang berkembang. Atau kalaupun keberanian itu cukup karena siap menentang resiko dan modal tersedia,
misalnya perkembangannya boleh jadi sangat lamban. Menghadapi fakta atau gejala yang seperti itu biasanya pemerintah tidak sabar, lalu turun tangan untuk merintis atau memacunya.
Jadi,
peran dinamisatif pemerintah diwujudkannya dalam bentuk perintisan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu seperti penerbangan pesawat-pesawat komersialnya ke jalur baru yang masih kering, atau pemekaran kota dengan jalan antara lain memindahkan pusat kegiatan pemerintahan daerah ke lokasi baru, serta dalam bentuk pemercepatan pertumbuhan bidang bisnis tertentu, misalnya dengan mengalokasikan anggaran yang lebih besar ke bidang bersangkutan.
Argumentasi pemerintah bahwa ia harus berperan sebagai dinamisator didukung pula oleh sebuah premis yang dicanangkan dan di kampanyekan sendiri. Karena dialah yang
merencanakan dan memodali pembangunan, maka ia merasa paling
bertanggung jawab atas pelaksanaannya, atas dasar itu ia merasa berhak melakukan apa saja yang menurutnya pantas ditempuh demi
pembangunan. Kalau perlu,
demi pembangunan (biasa didahului atau diiringi dengan dalih untuk memelihara stabilitas) pemerintah berhak mengambil alih kegiatan yang semula dijalankan oleh pihak swasta. Premis tadi tak lain merupakan perwujudan dari “isme-pembangunan”
atau develop mentalism (lebih sempit lagi merupakan manifestasi dari “isme-pertumbuhan”
atau growithism)
yang membelenggu kerangka
pikir (terms of thinking)
pemerintah-pemerintah di banyak negara
berkembang, termasuk para perumus kebijaksanaan pembangunannya.
Keempat macam peranan pemerintah tadi potensial menimbulkan kesulitan penyerasian atau bahkan pertentangan kebijaksanaan. Sebagai contoh: dalam kapasitas selaku stabilisator,
pemerintah harus mengendalikan inflasi. Apabila hal itu di tempuh dengan cara mengurangi pengeluaranya, agar
permintaan agregat terkendali sehingga tidak tambah memicu kenaikan harga-harga, maka porsi pengeluaran pemerintah untuk lapisan masyarakat atau pihak/sektor yang harus dibantu dapat turut dikurangi.
Padahal justru dengan pengeluaran itulah pemerintah menjalankan peran distributifnya. Contoh lain: pelaksanaan peran dinamisatifnya mungkin mengundang kontroversi internal.
Apabila pemerintah terlalu berlebihan dalam meyakini kemampuannya sebagai dinamisator, maka yang
berkembang berkat kebijaksanaannya boleh jadi hanya akan terbatas pada lembaga-lembaga di
jajarannya (instansi teknis dan perusahaan-perusahaan negara). Di lain pihak, dinamika lembaga-lembaga masyarakat dan perusahaan swasta justru terpasung.
No comments:
Post a Comment