Wednesday 10 October 2012

Pengangguran di Indonesia

Masalah utama dan mendasar dalam ketenagakerjaan di Indonesia adalah masalah upah yang rendah dan tingkat pengangguran yang tinggi. Hal tersebut disebabkan karena, pertambahan tenaga kerja baru jauh lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan lapangan kerja yang dapat disediakan setiap tahunnya. Pertumbuhan tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan dengan ketersediaan lapangan kerja menimbulkan pengangguran yang tinggi.
Pengangguran adalah orang yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaaan. Pengangguran merupakan salah satu masalah utama dalam jangka pendek yang selalu dihadapi setiap negara. Karena itu, setiap perekonomian dan negara pasti menghadapi masalah pengangguran, yaitu pengangguran alamiah (natural rate of unemployment).
Tingkat pengangguran alamiah adalah suatu tingkat pengangguran yang alamiah dan tak mungkin dihilangkan. Tingkat pengangguran alamiah ini sekitar 5-6 persen atau kurang. Artinya jika tingkat pengangguran paling tinggi 5 persen itu berarti bahwa perekonomian dalam kondisi penggunaan tenaga kerja penuh (full employment).
Peningkatan angkatan kerja baru yang lebih besar dibandingkan dengan lapangan kerja yang tersedia terus menunjukkan jurang (gap) yang terus membesar. Kondisi tersebut semakin membesar setelah krisis ekonomi. Dengan adanya krisis ekonomi tidak saja jurang antara peningkatan angkatan kerja baru dengan penyediaan lapangan kerja yang rendah terus makin dalam, tetapi juga terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Sehingga tingkat pengangguran di Indonesia dari tahun ke tahun terus semakin tinggi.

                                                Tabel 1.
Jumlah penduduk, angkatan kerja dan tingkat pengangguran di Indonesia 1980-2002
Uraian
1980
1985
1990
1995
2000
2002
Penduduk *
148,0
164,6
179,4
194,8
206.630
211.100
Angkatan Kerja**
52.421
63.826
77.803
86.361
95.651
100.800
Bekerja**
51.553
62.458
75.851
80.110
89.538
91.600
Pengangguran**
868
1.368
1.952
6.251
5.858
8.900
Tingkat Pengangguran
1,7%
2,1%
2,5%
7,2%
6,1%
9,1%
Sumber : Statistik Indonesia. * Dalam juta jiwa. ** Dalam ribuan jiwa
Tabel 2.

2002
2003
2004
2005
2006
2007
Pertumbuhan Ekonomi (%)
4.38
4.88
5.05
5.70
5.50
6.30
Pengangguran (%)
9.1
9.7
9.9
11.2
10.3
9.75
Penduduk Miskin (Juta)
38.4
37.3
36.1
35.1
39.3
37.17
% Penduduk Miskin
18.20
17.42
16.66
15.97
17.75
16.58
Garis kemiskinan (Rp/Kapita/Bulan)
108,889
118,554
122,775
129,108
151,997
166,697
Inflasi (%)
10.03
5.06
6.40
17.1
6.6

            Sumber BPS

Menilai Risiko Pengendalian

           Menilai risiko pengendalian (assessing control risk) merupakan suatu proses mengevaluasi efektivitas pengendalian intern suatu entitas dalam mencegah atau mendeteksi salah saji yang material dalam laporan keuangan.
Tujuan dari menilai resiko pengendalian (assessing controlis) adalah untuk membantu auditor dalalm membuat suatu pertimbangan mengenai resiko salah saji yang material dalam asersi laporan keuangan. Penilaian resiko pengendalian melibatkan pengevaluasian terhadap efetivitas dari (1) rancangan dan (2) pengoperasian pengendalian. Menilai resiko pengendalian juga membantu auditor dalam membuat keputusan mengenai sifat, waktu dan cakupan dari prosedur audit. Pada dasarnya pengujian pengendalian (test of control) menyediakan bukti sebagai bagian dari dasar yang memadai untuk mengeluarkan opini auditor.
Resiko pengendalian, seperti komponen lain dalam model resiko audit, di nilai dalam asersi nilai keuangan individual. Sistem akuntansi berfokus pada pemrosesan transaksi, dan banyak aktifitas pengendalian berhubungan dengan pemrosesan suatu jenis transaksi tertentu. Oleh karena itu, adalah umum memulai dengan menilai resiko pengendalian atas asersi kelas transaksi seperti asersi keberadaan atau keterjadian, asersi kelengkapan, dan asersi penilaian serta alokasi untuk penjualan kredit dan penerimaan kas. Penilaian tersebut kemudian di kombinasikan dengan tepat dalam menilai risiko pengendalian untuk asersi saldo akun yang berhubungan yang di pengaruhi oleh kelas transaksi. Sebagai contoh, penilaian risiko pengendalian yang relevan untuk penjualan dan penerimaan kas di anggap memenuhi penilaian untuk asersi saldo piutang usaha. Adalah penting untuk mengingat bahwa penilaian risiko pengendalian di buat untuk asersi individual, bukan untuk pengendalian intern secara keseluruhan, komponen pengendalian intern individual, atau kebijakan atau prosedur individual.
Dalam membuat penilaian risiko pengendalian untuk suatu asersi, adalah penting bagi auditor untuk :
1.  Mempertimbangkan pengetahuan yang di peroleh dari prosedur untuk memperoleh suatu pemahaman mengenai apakan pengendalian yang berhubungan dengan asersi telah di rancang dan di terapkan dalam operasi oleh managemen entitas.
2.  Mengidentifikasikan salah saji potensial yang dapat muncul dalam asersi entitas.
3. Mengidentifikasikan pengendalian-pengendlian yang di perlukan yang mungkin akan mencagah atau  mendeteksi dan memperbaiki salah saji.
4.  Melaksanakan pengujian pengendalian terhadap pengendalian-pengendalian yang di perlukan untuk menentukan efektifitas rancangan dan pengoperasian dari pengendalian-pengedalian tersebut.
5.  Mengevaluasi bukti dan membuat penilaian.

Friday 5 October 2012

ERM (Enterprise Risk Management)


Definisi Enterprise Risk Management
            Enterprise Risk Management (ERM) adalah “suatu proses yang dipengaruhi oleh board of director, dan personel lain dari suatu organisasi, diterapkan dalam setting strategi, dan mencakup organisasi secara keseluruhan, didesain untuk mengidentifikasi kejadian potensial yang mempengaruhi suatu organisasi, untuk memberikan jaminan yang cukup pantas berkaitan dengan pencapaian tujuan organisasi” (COSO ERP, 2004).
Framework ERM
Dua buah framework Enterprise Risk Management (ERM) adalah COSO dan RIMS. Keduanya mendeskripsikan pendekatan untuk mengidentifikasi, menganalisa, bertanggung jawab, dan memonitor risiko ataupun peluang di dalam maupun di luar lingkungan yang dihadapi perusahaan. COSO memiliki delapan  komponen dan empat kategori objek. Delapan komponen tersebut antara lain:
1)        Lingkungan Internal
     Komponen ini meliputi sikap manajemen di semua tingkatan terhadap operasi secara umum dan konsep kontrol secara khusus. Hal ini mencakup: etika, kompetensi, serta integritas dan kepentingan terhadap kesejahteraan organisasi. Juga tercakup struktur organisasi serta kebijakan dan filosofi manajemen. Bagaimanapun, inti dari berbagai kegiatan adalah orangnya dan lingkungan dimana dia beraktivitas. Faktor manusia yang dimaksudkan disini adalah atribut yang melekat di orang tersebut, misalnya: integritas, nilai etika, dan kompetensi.
     Lingkungan internal merupakan dasar dari seluruh komponen ERM yang menyajikan disiplin dan struktur. Lingkungan internal mempengaruhi bagaimana strategi dan tujuan organisasi ditetapkan, aktivitas kegiatan dibangun, dan bagaimana risiko diidentifikasi, dinilai, dan ditindaklanjuti. Lingkungan internal juga mempengaruhi bagaimana desain dan fungsi dari aktivitas pengendalian, sistem informasi dan komunikasi, dan aktivitas pemantauan. Lingkungan internal ini terbentuknya sangat dipengaruhi oleh latar belakang sejarah dan kultur atau budaya orang dan masyarakat sekitar yang membentuknya.
     Lingkungan internal terdiri dari berbagai sub komponen, yaitu:
a.    Filosofi manajemen risiko yaitu seperangkat keyakinan dan sikap yang mencirikan bagaimana organisasi memandang risiko organisasi dalam segala hal;
b.    Harapan risiko yang diinginkan (risk appetite) yaitu besaran dan jumlah risiko yang diharapkan dan diterima organisasi;
c.    Pimpinan yaitu struktur, pengalaman, independensi, dan peran pengawasan (oversight) yang dimainkan.
d.   Integritas dan nilai etika yaitu preferensi, standar perilaku, dan gaya;
e.    Komitmen kompetensi yaitu pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas dan pekerjaan;
f.     Struktur Organisasi yaitu kerangka fungsi manajemen yang berupa perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan aktivitas pemantauan;
g.    Wewenang dan tanggung jawab yaitu tingkatan dimana individu dan tim di dalam organisasi memiliki wewenang dan didorong untuk menggunakan inisiatifnya untuk mengarahkan berbagai hal penting dan mengatasi permasalahan sebatas wewenang yang dimilikinya;
h.    Standar SDM yaitu praktik-praktik berkaitan dengan rekrutasi, orientasi, training, evaluasi, konseling, promosi, kompensasi, dan pengambilan tindakan perbaikan yang segera berkaitan dengan masalah SDM.
2)        Penetapan Tujuan
Tujuan ditetapkan pada tingkat strategis yang menjadi dasar untuk penetapan tujuan operasional. Pelaporan, dan ketaatan. Setiap organisasi menghadapi berbagai risiko baik yang bersumber dari internal maupun eksternal. Penetapan tujuan merupakan langkah awal untuk nantinya dapat mengidentifikasi kejadian, menilai risiko, dan menentukan respon terhadap risiko.
3)        Identifikasi Kejadian
Manajemen mengidentifikasi kejadian potensial yang dapat mempengaruhi organisasi dalam mencapai tujuannya dan juga memastikan apakah kejadian yang mempengaruhi kegiatan organisasi dalam mencapai tujuannya, juga membuka peluang bagi organisasi untuk menerapkan strategi yang lebih baik dalam upaya untuk mencapai tujuan organisasi. Umumnya, kejadian yang mengakibatkan dampak negatif merupakan risiko yang harus dinilai dan direspon manajemen untuk bagaimana mengurangi dampak risiko yang terjadi dan mencegah kemungkinan terjadinya. Sedangkan kejadian yang memberikan dampak positif merupakan peluang yang perlu dihubungkan strategi dan proses pencapaian tujuan.
Manajemen perlu mempertimbangkan faktor internal dan eksternal mengenai kemungkinan terjadinya risiko dan peluang yang dapat dimanfaatkan organisasi. Dalam mengidentifikasi kejadian (events), manajemen perlu mempertimbangkan berbagai faktor baik internal maupun eksternal yang menimbulkan terjadinya risiko ataupun peluang yang mempengaruhi organisasi dalam pencapaian tujuannya. Berikut beberapa contoh faktor eksternal yang dipertimbangkan:
a.    Ekonomi, seperti perubahan harga, ketersediaan modal, perdagangan bebas, ekonomi global, dan sebagainya;
b.    Lingkungan alam, seperti banjir, kebakaran, gempa bumi, cuaca atau iklim, dan sebagainya;
c.    Politik, seperti pemilihan umum, reformasi pemerintahan, peraturan perundang-undangan yang baru, dan sebagainya;
d.   Sosial, seperti perubahan demografi, kultur budaya dan masyarakat, gaya hidup individu dan masyarakat, dan sebagainya;
e.    Teknologi, seperti perubahan yang cepat peralatan komputer, proses penyimpanan data, dan sebagainya.
Berikut beberapa contoh faktor internal yang dipertimbangkan:
a.    Infrastruktur, seperti peningkatan alokasi modal untuk pemeliharaan dan dukungan kegiatan operasional, dan sebagainya;
b.    Personil, seperti kecelakaan di tempat kerja, kegiatan yang mengarah pada kecurangan dan pelanggaran, unjuk rasa buruh atau tenaga kerja, dan sebagainya;
c.    Proses, seperti modifikasi proses, kesalahan dalam pemrosesan, keputusan outsourcing, dan sebagainya;
d.   Teknologi, seperti peningkatan sumber-sumber untuk menangani volume kerentanan yang terjadi, pelanggaran dalam sistem pengamanan, sistem komputer mengalami kerusakan, dan sebagainya.
4)        Penilaian Risiko
Penilaian risiko memungkinkan setiap organisasi untuk mempertimbangkan luasnya kejadian yang dapat mempengaruhi pencapaian tujuan organisasi. Untuk menilai kejadian yang dapat menimbulkan risiko, manajemen menilainya dari dua perspektif, yaitu kemungkinan terjadinya kejadian tersebut (likelihood) dan dampak yang ditimbulkan dari kejadian tersebut (impact). Dampak dari kejadian harus diuji baik untuk masing-masing kejadian yang mengandung risiko maupun kelompok risiko yang mempengaruhi kegiatan untuk pencapaian tujuan organisasi. Risiko dinilai beik berdasarkan keberadaan risiko yang melekat (inherent risk) maupun risiko yang tidak dapat dikurangi lagi kemungkinan terjadinya atau dampak yang ditimbulkan (residual risk).
5)        Respon terhadap Risiko (risk response)
Setelah risiko dinilai, manajemen menentukan bagaimana risiko direspon, yaitu bagaimana tindakan-tindakan dilakukan untuk mengelola risiko yang terjadi atau berpotensi akan terjadi. Strategi untuk mengelola risiko terbagi menjadi empat, yaitu:
a.    Strategi menghindar (avoidance)
Keluar atau melepaskan diri dari kegiatan yang berisiko. Upaya-upaya yang dilakukan melalui strategi ini, antara lain: keluar atau tidak ikut dalam produk atau pelayanan tertentu, mengurangi perluasan pada areal pasar yang baru, atau menjual/melepaskan (divestasi) divisi yang mengandung risiko tinggi;
b.    Strategi mengurangi (reduction)
Tindakan yang diambil difokuskan pada bagaimana mengurangi kemungkinan terjadi, dampak yang ditimbulkan, atau keduanya atas risiko yang sudah diidentifikasi dan dinilai. Penerapan pengendalian internal yang efektif merupakan satu tindakan untuk mengurangi risiko yang terjadi;
c.     Strategi membagi/memindahkan (sharing/transfer)
Mengurangi kemungkinan atau dampak risiko dengan membagi atau memindahkan risiko ke area lain yang risikonya lebih rendah. Tindakan yang dilakukan meliputi: mengasuransikan produk, jasa, atau kegiatan yang dilaksanakan, menggunakan jasa pihak lain untuk melakukan kegiatan (outsourcing), dan sebagainya;
d.    Strategi menerima (acceptance)
Tidak ada tindakan yang dilakukan untuk menangani risiko, baik berkaitan dengan kemungkinan terjadi maupun dampak yang ditimbulkan. Artinya, kejadian yang terjadi diterima apa adanya. Umumnya, strategi ini diambil terhadap kegiatan-kegiatan yang berisiko rendah. Dalam mempertimbangkan strategi mengelola risiko (risk response) apa yang dipilih, harus dinilai bagaimana pengaruh kemungkinan risiko dan dampak yang ditimbulkan, begitu pula pertimbangan biaya dan manfaat yang ditimbulkan. Strategi mengelola risiko yang dipilih harus mampu menghasilkan risiko residual dalam batas harapan risiko yang dapat ditolerir atau diterima. Strategi mengelola risiko yang digunakan harus dapat membawa risiko dimaksud ke dalam batas risiko yang diharapkan (risk appetite). Strategi menangani risiko tidak boleh dilakukan secara individual atau parsial, melainkan harus menempatkan risiko dalam portofolio, agregat, atau besarannya sebagai satu keseluruhan di dalam organisasi.
6)        Aktivitas Pengendalian
Merupakan kebijakan dan prosedur yang membantu memastikan bahwa risk response yang dipilih dilaksanakan dengan memadai. Meskipun aktivitas pengendalian umumnya dikenal sebagai strategi untuk mengurangi risiko, namun aktivitas pengendalian tertentu juga dipakai pada strategi risk response lain. Aktivitas pengendalian dipasangkan di seluruh organisasi, yaitu disetiap tingkatan maupun fungsi dalam organisasi. Aktivitas pengendalian dikelompokkan dalam berbagai ccara dan mencakup areal aktivitas yang mungkin bersifat preventif atau detektif, manual atau terkomputerisasi, serta di tingkatan proses atau manajemen.
7)        Informasi dan Komunikasi
Informasi diidentifikasi, diperoleh, dan dikomunikasikan dalam bentuk dan kerangka waktu yang tepat dan sesuai sehingga memungkinkan setiap orang untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Informasi harus cukup atau sufisien dan konsisten dengan kebutuhan organisasi untuk mengidentifikasi, menilai, dan merespon atau mengelola risiko, yaitu dengan tetap dalam batas toleransi risiko yang ditetapkan. Sistem informasi yang menggunakan data dan informasi yang umumnya diperoleh dari sumber-sumber eksternal, menyajikan informasi untuk mengelola risiko dan membuat keputusan berkenaan dengan tujuan yang ingin dicapai organisasi. Di samping itu, informasi harus berkualitas dalam rangka untuk mendukung pengambilan keputusan. Kualitas informassi yang dimaksud berhubungan dengan beberapa hal berikut ini:
a.    Isi harus sesuai dan kerincian informasi harus pada tingkat yang benar;
b.    Informasi harus tepat waktu dan tersedia pada saat dibutuhkan;
c.    Informasi harus selalu baru atau diperbarui yang mencerminkan informasi keuangan dan operasional;
d.   Informasi harus akurat dan dapat diandalkan;
e.    Informasi dapat diakses oleh mereka yang membutuhkan.
Komunikasi yang efektif juga timbul dan menyebar ke seluruh organisasi. Setiap orang menerima pesan yang jelas dari pimpinan bahwa tanggung jawab mengelola risiko harus ditangani dengan serius atau sungguh-sungguh. Harus mendesain komunikasi yang efektif dengan pihak luar, seperti: pelanggan, pemasok, dan pemangku kepentingan lain. Komunikasi dapat mengambil berbagai bentuk, seperti: manual kebijakan, memoranda, email, buletin organisasi dan pesan melalui video. Dalam hal pesan disampaikan secara lisan, maka baik nada suara maupun gerak tubuh sangat mempengaruhi bagaimana pesan tersebut diinterpretasikan.
8)        Monitoring
Penerapan manajemen risiko (ERM) dimonitor atau dipantau terus dalam rangka untuk memastikan keberadaannya dan apakah komponen-komponennya berfungsi dengan memadai setiap saat. Monitoring dapat dilakukan melalui berbagai bentuk, yaitu: monitoring terus-menerus (on going), penilaian terpisah (separate evaluation), atau kombinasi diantara keduanya. Monitoring terus-menerus terjadi dalam pelaksanaan aktivitas kegiatan yang dilakukan. Sementara itu, ruang lingkup dan frekuensi penilaian terpisah tergantung pada hasil penilaian (assessment) risiko dan efektivitas dari prosedur monitoring terus-menerus yang dilakukan.
Kekurangan-kekurangan dari penerapan strategi manajemen risiko dilaporkan ke pihak yang lebih tinggi, sedangkan permasalahan yang sangat serius dan mendesak dilaporkan kepada pimpinan tertinggi di organisasi untuk ditetapkan keputusan strategisnya. Dari kedelapan komponen yang telah diuraikan ini, intinya adalah bahwa komponen manajemen risiko (ERM) ini menyajikan suatu garis besar untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan umum berikut berkaitan dengan pemikiran untuk penerapan konsep manajemen risiko.
Empat kategori objek antara lain:
a.    Strategi-tujuan akhir, mendukung misi organisasi;
b.    Operasi-menggunakan sumber daya secara efektif dan efisien;
c.    Laporan finansial;
d.   Pemenuhan (compliance)-sesuai dengan hukum dan regulasi yang berlaku.
RIMS (Risk and Insurance Management Society) mendefinisikan ERM sebagai kultur, proses, dan perangkat untuk mengidentifikasi peluang yang strategis dan mengurangi ketidakpastian. ERM merupakan kumpulan pandangan mengenai risiko dari sudut pandang operasional maupun strategis dan merupakan proses yang mendukung pengurangan ketidakpastian serta mempromosikan eksploitasi peluang. Menurut RIMS Risk Maturity Model untuk ERM terdapat tujuh buah kompetensi utama sebaik apa manajemen risiko enterprise dapat dicapai, berikut adalah tujuh kompetensi berdasarkan RIMS Risk Maturity Model:
a.    ERM – berbasis pendekatan (based approach) – derajat dukungan untuk ERM dari segi kultur perusahaan.
b.    ERM manajemen proses (process management) – derajat bergolaknya proses ERM yang mengacu pada proses bisnis dan menggunakan langkah proses ERM untuk mengidentifikasi, memperkirakan, mengevaluasi, mengurangi, dan memonitor.
c.    Manajemen risiko keinginan (risk appetite mangement) – derajat pemahaman akibat risiko perdagangan pada bisnis perusahaan.
d.   Akar kedisiplinan (root cause discipline) – derajat disiplin yang diaplikasikan untuk mengukur akar permasalahan dan mendefinisikan event yang terkait pada proses bisnis sehingga dapat mengurangi ketidakpastian, kumpulan informasi, dan mengukur keefektifan kontrol.
e.    Risiko yang tidak di-cover (uncovering risk) – derajat kualitas dan cakupan penetrasi dari aktivitas prediksi risiko dalam dokumentasi risiko dan peluang.
f.     Manajemen performansi – derajat dijalankannya visi dan strategi, bekerja dari keuntungan finansial, costumer, proses bisnis, dan pembelajaran perkembangan sudut pandang seperti balanced scorecard dari Kaplan atau pendekatan sejenis lainnya.
g.    Keterikatan dan dukungan bisnis (business resiliency and sustainability) – tingkatan pada aspek dukungan proses ERM yang terintegrasi pada perencanaan operasional.
Empat kategori objek antara lain:
·      Strategi – tujuan akhir, mendukung misi organisasi;
·      Operasi – menggunakan sumber daya secara efekstif dan efisien;
·      Laporan finansial - keandalan pelaporan operasional dan keuangan;
·      Pemenuhan (Complience) – sesuai dengan hukum dan regulasi yang berlaku.